My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

I AM HADI PATRONUSSTO, merupakan anagram sempurna dari nama Muggle saya: ISMANTO HADI SAPUTRO.

Monday, October 16, 2006

KORAN TEMPO: Fakta-fakta Budaya Harry Potter

Fakta-fakta Budaya Harry Potter


Senin, 01 Agustus 2005

Malfoy adalah kelas atas atau aristokrat, sementara Potter merupakan representasi kelas menengah.

JAKARTA - Dua minggu sudah buku Harry Potter keenam, Harry Potter and The Half-Blood Prince, diluncurkan. Namun, demam Harry Potter jauh dari usai. Bahkan suhunya semakin meninggi. Seperti yang terlihat dalam diskusi "Harry Potter dan Sihir Fantasi" yang digelar untuk menandai peluncuran Komunitas Ruang Baca Tempo (KRBT) dan situs www. ruangbaca.com di toko buku Gunung Agung, Kwitang, Jakarta Pusat, Kamis (28/7) malam pekan lalu.

Lebih dari seratus orang hadir dalam acara itu, mayoritas para penggila buku yang tergabung dalam Komunitas Ruang Baca Tempo. Dalam diskusi, dua pembicara, Indah S. Pratidina, penerjemah buku dan Editor Gramedia, dan Poppy Damayanti Kartadikaria, penerjemah buku genre fantasi, The Bartimaeus Trilogy dan juga penggemar Potter, Narnia, dan Earthsea Trilogy-nya Ursula LeGuin.

Indah mengungkapkan, selain ceritanya yang menyihir, buku Harry Potter karangan J.K. Rowling sarat dengan fakta-fakta budaya dan ideologi nyata yang dibungkus cerita fantasi. Alumnus Komunikasi Massa Universitas ini melihat bahwa Rowling membagi karakter-karakter dalam Harry Potter ke dalam kelas-kelas sosial.

"Malfoy (Draco Malfoy) adalah kelas atas atau aristokrat, Hagrid termasuk kelas pekerja dan Harry Potter sendiri merupakan representasi dari kelas menengah," ujar Indah. Menurut dia, dalam buku semua itu tecermin saat masing-masing nama di atas berinteraksi. Misalnya, ketika Malfoy berbicara dengan Hagrid, ia selalu merasa lebih tinggi dari penjaga Hogwarts itu.

Pernyataan Indah ini bukanlah fantasi atau karangan belaka, ia meneliti teks dan cerita Harry Potter dalam tugas akhirnya yang berjudul Analisis Wacana pada Sastra Anak, Ideologi J.K. Rowling dalam Dunia Sihir untuk meraih gelar S-1. "Kesimpulannya Rowling menginginkan tidak ada lagi perbedaan kelas, terutama untuk pendidikan," kata dia. Jika begitu, apakah Rowling beraliran kiri? Indah mengatakan tidak berani memberi cap itu. "Karena saya tidak meneliti sampai sejauh itu," katanya.

Sedangkan Poppy Damayanti lebih menyoroti kisah dalam buku-buku fantasi yang terbagi ke dalam beberapa aliran, ada fantasi tradisional (traditional fantasy), fantasi yang gelap (dark fantasy), fantasi tinggi (high fantasy), dan fantasi urban modern. "Nah, Harry Potter termasuk kategori terakhir," ujarnya.

Perbedaannya, kata Poppy, dalam fantasi tradisional tidak ada batasan, pakem, atau aturan tertentu. Penulis bebas membuat dunia khayalannya sendiri. Contohnya, seorang raksasa sah-sah saja bertetangga dengan liliput. "Hal yang ditabukan dalam dark fantasy," kata dia. Sementara itu, untuk fantasi tinggi, penulis menciptakan dunianya sendiri tapi dengan aturan-aturan, seperti dalam trilogi Lord of the Rings.

Sebelumnya, Koordinator Komunitas Ruang Baca Tempo (KRBT), Dian R. Basuki, mengatakan bahwa dibentuknya komunitas ini tidak lain untuk memenuhi animo pembaca Ruang Baca Koran Tempo yang semakin besar. "Jika telat atau tidak terbit, banyak yang menanyakannya," ujarnya. Maka dengan adanya KRBT, yang telah memiliki anggota lebih dari 800 orang ini, interaksi dan kedekatan antara pembaca, Tempo, dan penerbit semakin terjalin.

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti menyatakan, Komunitas Ruang Baca Tempo adalah tempat saling berbagi sekaligus panduan untuk para penikmat buku. Ia juga berharap KRBT bisa menciptakan komunitas pencinta buku yang melewati tapal batas. Seperti halnya Harry Potter.
poernomo gontha ridho

0 Comments:

Post a Comment

<< Home